Di jalan, ketika hari pertama yang begitu memuakkan itu usai.
“Yah, aku ingin sepatu…,” kataku lirih.
“Ayah kan sudah janji, nanti Ayah belikan,” katanya dengan nada datar.
“Sepertinya jika kakiku ini dipakaikan sepatu, pasti tidak akan sama cara menatap mereka padaku. Iya kan, Yah?” aku tersenyum membayangkan bahagianya mengenakan alas kaki. Anggukanlah yang kemudian selalu menjadi jawaban atas keraguanku. Aku bosan dengan jawaban itu, namun entah anggukan itu selalu membuatku tenang.
Sesampainya di rumah yang lebih tepat dikatakan gubuk, Ayah pun pergi untuk bekerja serabutan. Entah, apa pekerjaan yang akan ia kerjakan hari ini.
“InsyaAllah hari ini Ayah akan belikan kamu alas kaki,” katanya dengan mengelus rambutku.
“Janji?” Aku suguhkan jari kelingkingku untuknya. Ia pun mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku.
“Horreee...,” aku melonjak begitu senang.
***
Sudah larut malam, ayah belum pulang juga. Aku dan ibu menunggu cemas.
Tepat pukul 11 malam, ayah baru tiba di rumah. Dengan penuh wajah memar, dia mengucapkan salam. Sontak, aku, ibu dan kakak kaget menyaksikan wajah ayah yang memar bukan main.
“Ya Allah, Ayah kenapa?” Ibu panik bukan main.
“Tidak apa-apa, tenang saja…,” katanya dengan perasaan yang menurutku ditahan-tahan itu.
“Tidak apa-apa bagaimana? Pulang larut dengan muka bonyok seperti ini masih tidak apa-apa?” Kakak penuh nada heran.
“Sudah… sudah… Biarkan Ayah diobati dulu, nanti jika sudah tenang, baru bertanya,” kata Ibu dengan membawa kompresan dan kain untuk membalut luka memar di wajah Ayah. Sementara aku? Mulutku kaku bukan main, lidahku kelu tak seperti biasanya.
Dengan keadaan tenang, Ayahku pun bercerita, itupun karena kami yang memberondong ia dengan pertanyaan.
Ya Allah... Serta merta hatiku hancur, ketika mendapatkan kabar bahwa wajahnya hancur karena digebuki warga sekitar. Ayah dituduh mencuri sandal jepit masjid yang kebetulan sama barunya. Untungnya ada ustadz yang membantu mengamankan semuanya dan terbukti bahwa Ayah tak mencuri sandal masjid, melainkan membeli sendiri sandal jepit yang kebetulan merk-nya sama itu.
Dari sanalah aku bersyukur dengan perjuangannya. Dari sanalah aku berhutang budi karenanya. Aku harus membayar wajah memar Ayah dengan prestasiku. Aku janji. Saksikanlah tekadku!
***
Di sekolahku tak ada peraturan yang mewajibkan siswanya untuk menggunakan sepatu. Minimal alas kaki, sandal jepit pun tak masalah. Maklum, sekolah di kampung. Guru-guru pun mengerti akan kondisi ini.
Aku melangkah dengan pede-nya. Dan terbukti dengan kehadiran sandal jepit yang menghiasi kakiku kini, aku bersemangat dan setidaknya membuat orang-orang tak menatapku angkuh seperti semula.
Namun sayang, satu tahun berlalu, karena seringnya sandal jepit itu kupakai. Ia mulai menipis dan bolong tepat di ujungnya. Tanpa bisa kututupi, akhirnya pak Edi dan teman-temanku yang lain termasuk Dani, mengetahui akan hal ini. Mereka kembali mempermainkanku.
Aku pulang dengan tergesa. Kemudian kumengunci diri dalam kamar petak yang sempit. Ayah dan ibuku menyaksikan tangisanku yang terbawa angin, sesenggukan.
“Kenapa?” Ayahku mengetuk pintu. Ibu pun ikut memberondong bertanya.
“Ayo keluar dulu… Coba jelaskan ada apa?” Kata Ibu dengan nada lembut. Aku pun bersihkan air mata yang tak mau dihentikan lajunya itu, membersihkan ingusku yang ikut-ikutan keluar dan susah payah menahan agar tak terdengar senggukan itu. Aku keluar dengan wajah sembab.
“Kenapa tah?” Ayahku mengusap rambutku.
Aku tunjukan sendalku padanya. Sandal bolong itu.
“Oh, ini tah masalahnya? Nanti kalau Ayah punya rezeki lebih, Ayah belikan sandal baru, ya…,” kata Ibu dengan melirik Ayah. Ayah mengangguk, tersenyum mengusap air mataku.
“Tapi jangan habis manis sepah dibuang, ya…,” ayah nyengir bukan main.
“Eh?” Aku tak mengerti pribahasa ayah.
“Iya, jangan mau enaknya saja, tapi pas sandalmu bolong, langsung kamu buang,” kata Ibu menjelaskan.
“Oh… Lalu aku harus bagaimana?” Pertanyaanku ditertawakan oleh Ibu dan Ayah. Ayah menepuk-nepuk pundakku.
“Sini Ayah tunjukan…,” katanya menginstruksi
Aku dibawa pada halaman penuh pasir bolong-bolong.
“Nah, di sini kamu bisa gunakan sandalmu…,” ayah mengambil sandal bolong itu kemudian meniupkan udara pada bolongan tersebut. Muncullah makhluk aneh yang jalannya mundur-mundur.
“Waaah…,” aku melihat takjub.
“Itu namanya undur-undur. Dengan ini kamu bisa meniupkan udara dari mulutmu tanpa harus takut kotor.” Ayah tersenyum dan menyerahkan sandal bolong itu padaku dengan isyarat Cobalah… Aku pun mencobanya.
“Horeee… makhluknya pada keluar…,” aku tertawa menyaksikan undur-undur itu tersingkap dan berjalan mundur. Ayahku memang hebaaat! Batinku membenarkan.
Belum bahagia itu sirna dari hatiku. Malamnya, Ayah mengajakku ke sebuah ladang yang terbentang. Yang hanya ada rumput sebagai alas.
Ayahku pun tidur-tiduran di atas rumput tersebut. Aku mengikuti.
“Mana sandalmu?” Tanyanya.
Aku menyerahkan sandal itu.
Ia mendekatkan bolongan itu pada matanya. Kemudian berujar, “Fokus!”
“Nah, dengan begini, kau akan melihat bintang lebih fokus dan indah.”
“Waaah, seperti teropong bintang, ya, Yah?” Aku tergelak. Ayahku mengangguk tersenyum.
“Coba…,” katanya mengasongkan sandal itu padaku.
Aku melihat bintang dengan sandal bolong tersebut. Seolah bintang bersinar, tersenyum mengedipkan dirinya padaku. Indah dan membawa getaran bernama bahagia.
Aku pun membidik bintang yang paling terang via sandal bolongku itu.
“Kau ingin menggapaiku?” Bintang itu seolah berbicara padaku.
“Gapailah aku dengan usaha dan prestasimu. Lihat Ayah-mu, pasti kau bisa!” katanya dengan nada sempurna. Diakhiri oleh pendaran yang tak akan mungkin bisa ku lupa.
Bukan seberapa mahal barang itu, namun seberapa berarti dan memberikan jasa pada kita, kan?
Ayah terimakasih… Sandal pemberianmu, memberikan berjuta makna…
Aku tersenyum menatap Ayah dengan bangga.
Silahkan Tulis Komentar Anda ...